24/12/09

Ham dan Kebebasan

Masih ingat Lia Eden? Perempuan ini mendakwahkan dirinya sebagai Jibril Ruhul Kudus. Lia, yang mengaku mendapat wahyu dari Allah, pada 25 November 2007, berkirim surat kepada sejumlah pejabat negara. Kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, Lia berkirim surat yang bernada amarah. ”Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku,” tulis Lia dalam surat berkop ”God’s Kingdom: Tahta Suci Kerajaan Eden”. Jadi, mungkin baru ada di Indonesia, ”Malaikat Jibril” berkirim surat dan ”ganti tugas” sebagai ”pencabut nyawa.”


Saat ditanya tentang status aliran semacam ini, MUI dengan tegas menyatakan, ”Itu sesat.” Mengaku dan menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang telah mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah tindakan munkar yang wajib dicegah dan ditanggulangi. (Kata Nabi saw: ”Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman”).

Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di satu kampus Islam di Semarang menurunkan laporan utama: ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, ”MUI bisa dijerat KUHP Provokator.” Sejumlah kelompok juga datang ke Komnas HAM meminta pembubaran MUI.

Dasar mereka untuk menghujat MUI adalah HAM dan kebebasan. Bagi kaum liberal, pasal-pasal dalam HAM dipandang sebagai hal yang suci dan harus diimani dan diaplikasikan. Dalam soal kebebasan beragama, mereka biasanya mengacu pada pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan: ”Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinan, dan kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain dan dalam ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya dalam menghargai, memperingati, mempraktekkan dan mengajarkan.”

Deklarasi ini sudah ditetapkan sejak tahun 1948. Para pendiri negara Indonesia juga paham akan hal ini. Tetapi, sangatlah naif jika pasal itu kemudian dijadikan dasar pijakan untuk membebaskan seseorang/sekelompok orang membuat tafsir agama tertentu seenaknya sendiri. Khususnya Islam. Sebab, Islam adalah agama wahyu (revealed religion) yang telah sempurna sejak awal (QS 5:3). Umat Islam bersepakat dalam banyak hal, termasuk dalam soal kenabian Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Karena itu, setiap aliran yang mengaku mempunyai nabi baru setelah Nabi Muhamamd saw, pasti dinyatakan sesat oleh kaum Muslim. Sehebat apa pun seorang Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ’anhum, mereka tidak terpikir sama sekali untuk mengaku menerima wahyu dari Allah. Bahkan, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq telah bertindak tegas terhadap para nabi palsu dan para pengikutnya.

Kebebasan beragama memang diakui oleh Islam. Tetapi, bukan berarti orang bebas sekehendak hatinya untuk merusak agama. Kebebasan beragama tidak berarti orang boleh berbuat apa saja dengan mengatasnamakan kebebasan, tanpa mempedulikan hukum. Pada 2009 ini, umat Islam di Swiss pun dilarang untuk membangun menara masjid. Dasarnya, sebuah referendum masyarakat. Kebebasan memang ada batasnya. Hak tidak bisa diaplikasikan begitu saja. Apalagi, bagi kaum Muslim. Hak dan kebebasan dibatasi oleh aturan-aturan Allah (syariat).

Membonceng HAM
Atas nama kebebasan dan HAM, sekelompok mahasiswa Fakultas Syariah di Semarang menyatakan dukungannya terhadap legalisasi perkawinan homoseksual dan lesbian di Indonesia. Tahun 2004, mereka menerbitkan sebuah Jurnal dengan judul sampul yang sangat provokatif : Indahnya Kawin Sesama Jenis. ‘’Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan,” tulis pengantar redaksi Jurnal ini.
Judul sampul yang sama mereka pakai untuk judul sebuah buku : Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Buku ini secara terang-terangan mendukung, dan mengajak masyarakat untuk mengakui dan mendukung legalisisasi perkawinan homoseksual. Bahkan, dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia. Diantaranya : (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (3) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” Buku ini diakhiri dengan sebuah Catatan Penutup: ”Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN.”

Pada 11 November 2009, di satu kampus Islam di Surabaya, digelar satu seminar bertajuk “Nikah Yes, Gay Yes!” Seminar dihadiri ratusan mahasiswa. Seorang pembicara disitu mengungkapkan, bahwa kaum Luth diazab bukan karena kasus homoseks, tetapi karena menghilangkan eksistensi Nabi Luth. Pendapat semacam ini juga lazim dikemukakan kaum homoseks di lingkungan Kristen. Tapi, pendapat semacam ini pun telah banyak menuai kecaman keras dari para tokoh Kristen.

Beberapa tahun belakangan ini, dengan membonceng isu HAM dan kebebasan, kaum liberal di Indonesia memang sangat gencar mensosialisasikan legalisasi perkawinan homoseksual. Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Seorang profesor yang juga dosen di UIN Jakarta ditampilkan wawancaranya dengan judul: ”Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.

Menurut sang Profesor, definisi perkawinan adalah: ”Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.” Tapi, makna pasangan, bagi profesor itu, boleh juga pasangan sesama jenis. Kata dia: ”Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.”

Sang profesor geram, sebab, ungkapnya lebih jauh: ”Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.” Sebab, bagi sang profesor: ”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.”

Sebagai sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesia kini menjadi sasaran paham dan gerakan liberalisasi secara besar-besaran. Pada 6-9 November 2006, berkumpullah 29 pakar HAM terkemuka yang berasal dari 25 negara. Mereka berhasil merumuskan ”The Yogyakarta Principles”, yang kemudian diundangkan secara internasional di muka sidang Human Rights Council’s PBB di Genewa, 26 Maret 2007. Bagi para pejuang legalisasi homoseksual, prinsip-prinsip Yogyakarta ini dianggap sebagai tonggak sejarah (milestone) perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksual dan transgender.

Maka, jangan heran jika dengan membonceng isu HAM dan kebebasan, berbagai pemikiran dan gerakan yang destruktif terhadap Islam dan kaum Muslim, kini sengaja diluncurkan ke tengah masyarakat. Tentu saja, karena penegakan HAM telah menjadi program resmi dari pemerintah RI, maka umat Islam dan para pejabat Muslim perlu lebih berhati-hati dalam memilih dan memilah, mana ajaran-ajaran dan pemikiran yang merusak dan mana yang baik.

Lupakan Tuhan!
Meskipun tidak dinyatakan sebagai sebuah negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk Islam. Keberadaan dan kehormatan agama Islam dijamin oleh negara. Sejak lama pendiri negara ini paham akan hal ini. Bahkan, KUHP pun masih memuat pasal-pasal tentang penodaan agama. UU No 1/PNPS/1965 yang sebelumnya merupakan Penpres No 1/1965 juga ditetapkan untuk menjaga agama-agama yang diakui di Indonesia.
Bangsa mana pun paham, bahwa kebebasan dalam hal apa pun tidak dapat diterapkan tanpa batas. Ada peraturan yang harus ditaati dalam menjalankan kebebasan. Seorang pengendara motor tidak bisa berkata kepada polisi,, ”Bapak melanggar HAM, karena memaksa saya mengenakan helm. Soal kepala saya mau pecah atau tidak, itu urusan saya. Yang penting saya tidak mengganggu orang lain.”

Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The Stanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sangat biadab; menggambarkan sebuah komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw. Bagi Islam, ini suatu penghinaan. Bagi kaum liberal, itu dianggap kebebasan berekspresi, sehingga Salman Rushdie pun diberi penghargaan. Bagi kaum Muslim, kebebasan berekspresi dibatasi oleh aturan-aturan Allah.

Bagi kaum liberal, kebebasan berekspresi hanya dibatasi oleh ”rasa seni” dan kondisi sosial. Selama itu dianggap seni dan menampilkan ”keindahan”, maka itu dianggap boleh-boleh saja. Bahkan, dengan lantangnya, ada yang berani menantang: ”Tidak ada yang berhak mengatur tubuhku. Hanya aku yang berhak mengatur, karena ini tubuh-tubuhku sendiri!” Bagi manusia semacam ini, keberadaan aturan-aturan Tuhan dianggap menganggu kebebasannya. Bahkan, aturan Tuhan direkayasa, diubah-ubah, ditafsir ulang, agar cocok dengan hawa nafsunya.
Maka, supaya kebebasan hidupnya tidak terganggu, mereka mengajak agar manusia melupakan Tuhan. Buang Tuhan dari kehidupan, supaya manusia meraih kebebasan yang sempurna. Persis seperti apa yang dideklarasikan oleh filosof Perancis, Jean-Paul Sartre (1905-1980): ”even if God existed, it will still necessary to reject Him, since the idea of God negates our freedom.” (seperti dikutip Karen Armstrong dalam bukunya, History of God, 1993).
Padahal, al-Quran justru menegaskan sebaliknya: ”Ingatlah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang!” Dan siapa yang mengikuti petunjuk Allah, dijamin akan hidup bahagia di dunia dan akhirat. (***)

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP